![]() |
| Mutia Fadilah. |
Perempuan Minang, sejak dahulu memegang peranan sentral dalam membentuk karakter anak-anak dan menjaga keseimbangan sosial di tengah masyarakat. Dari tutur lembut seorang ibu, anak-anak belajar makna kato nan ampek, jenis tutur yang berbeda bagi orang tua, sebaya, anak-anak, dan orang asing. Kelembutan lisan itulah yang menjadi benteng pertama pendidikan moral. Bundo kanduang yang bijak tidak hanya pandai mengatur dapur dan rumah gadang, tetapi juga mampu menata kata agar tidak melukai hati, menegur tanpa merendahkan,dan menasihati tanpa menggurui.
Dalam konteks adat,lisan perempuan dianggap memiliki kekuatan spiritual dan sosial. Pepatah mengatakan, “Cadiak budi nan baibu, rancak kato nan baindu,” yang berarti kecerdikan perempuan diukur dari tutur katanya. Perempuan yang pandai menjaga ucapan akan disegani, karena kata-katanya membawa tenang, bukan guncang. Ia bisa menjadi penyejuk dalam pertemuan kaum, penengah dalam sengketa keluarga, dan penguat bagi suami serta anak-anaknya.
Namun, sebagaimana api kecil yang bisa menghangatkan atau membakar, begitu pula lisan manusia. Dalam rumah tangga Minangkabau, ucapan seorang ibu atau istri bisa menjadi sumber semangat, tapi juga sumber luka jika tidak dijaga. Karena itu, perempuan Minang selalu diingatkan untuk “manimbang kato, mamiliah baso”, menimbang sebelum berkata, memilih kata yang paling sesuai dengan situasi.
Kini, tantangan perempuan Minang hadir dalam bentuk baru, dunia digital. Ruang maya adalah “balai nan tak baranti bicara,” di mana setiap kata bisa menyebar cepat tanpa batas. Dalam media sosial, satu komentar kasar bisa melukai ribuan hati, dan satu kalimat bijak bisa menyembuhkan luka kolektif. Perempuan Minang yang dulu menjaga harmoni lewat kata di dapur dan rumah gadang, kini memikul peran yang sama di layar ponsel, menjadi penyejuk dalam arus percakapan publik yang kadang panas dan gaduh.
Pepatah lama itu pun seolah menemukan makna barunya, “Berpikir sebelum mengetik, sebagaimana nenek moyang kita berpikir sebelum berkata.” Menjaga etika komunikasi di dunia digital adalah bentuk baru dari menjaga marwah adat. Dengan lisan dan tulisan yang santun, perempuan Minang tetap menegakkan prinsip lama, “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah.”
Lisan perempuan Minang adalah warisan luhur yang hidup. Dari rumah gadang hingga ruang digital, dari petatah adat hingga status media sosial, perempuan Minang tetap menjadi penjaga harmoni, bukan hanya melalui tindakan, tetapi juga melalui kekuatan kata yang bijak, lembut, dan menenangkan (Oleh: Mutia Fadillah Mahasiswa Sastra Minangkabau, Universitas Andalas).
