Terinspirasi Noel, Wartawan Di Pontianak Peras Pengusaha Sawmill - Faktapagi.com

Selasa, Agustus 26, 2025

Terinspirasi Noel, Wartawan Di Pontianak Peras Pengusaha Sawmill

Foto ilustrasi aplikasi AI bukan yng sebenarnya.
FAKTAPAGI.COM.Kadang kasihan. Wartawan mestinya jadi penyambung lidah rakyat, malah memeras pengusaha. Bisa jadi si jurnalis ini terinspirasi dari aksi pemerasan gaya elit Noel, Wamanaker yang baru saja dikandangin KPK. Wartawan lokal Pontianak lagi, malu-maluin daerah saya. Simak narasinya sambil seruput kopi liberika, wak.

Di negeri ini, pemerasan sudah menjelma cabang filsafat praktis. Kalau Socrates mengajarkan “Aku berpikir maka aku ada,” maka Indonesia punya Noel dengan adagium sakti, “Aku memeras maka aku berkuasa.” Noel sang Wamen dengan jurus sertifikasi K3 adalah role model nasional, ikon hidup yang tanpa sadar melahirkan murid-murid kecil di pelosok. Jangan heran ketika EA, wartawan 51 tahun di Pontianak, mencoba menirunya. Bedanya, kalau Noel main miliaran, EA cukup lima juta saja. Sayangnya, ia langsung apes, kena OTT, digiring ke kantor polisi, lalu dibacakan pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman empat tahun. Empat tahun untuk lima juta? Kalau pakai logika matematika, Noel seharusnya sudah dihukum eksil di planet Pluto sampai kiamat.

Tapi mari kita pasang kacamata ilmiah. Dalam hukum pidana Indonesia, pemerasan bukan cuma preman gebrak meja. Ada kategorinya. Pemerasan fisik, pemerasan verbal, pemerasan digital, bahkan pemerasan terselubung dalam relasi kuasa. Dari ancaman “saya pukul kau” sampai ancaman “saya sebar foto pribadimu,” semua punya pasal masing-masing. Jadi EA jelas masuk kategori pemerasan verbal non-fisik, “Kalau tak kasih duit, saya bikin berita buruk.” Secara teori hukum, ancamannya empat tahun. Secara realitas sosial, paling seminggu sudah keluar, karena kalau semua pemerasan receh dihukum serius, lapas di Indonesia harus dilebarkan sampai menutupi Pulau Kalimantan.

Namun ada hal yang jauh lebih absurd dan layak dipertanyakan. Sawmill milik pengusaha korban EA itu sebenarnya legal atau ilegal? Karena kalau ilegal, maka kasus ini berubah total. Jangan-jangan EA yang dianggap pemeras, justru sedang memainkan peran “whistleblower gadungan” memeras sambil membuka borok industri gelap kayu. Kalau sawmill itu resmi dan punya izin lengkap, jelas EA hanya wartawan lapar yang salah jalan. Tapi kalau sawmill itu ilegal, pertanyaan besar muncul, kenapa hanya pemerasannya yang heboh, sementara sawmill ilegalnya dibiarkan? Jangan sampai rakyat melihat ini sebagai drama klasik “keluar dari mulut buaya, masuk mulut harimau.” Dari satu bentuk kejahatan ke bentuk kejahatan lain, dari pemerasan personal ke dugaan pemerasan institusional.

Inilah yang membuat kasus ini makin lucu sekaligus tragis. Di satu sisi, polisi bisa bangga berhasil OTT Rp5 juta, sebuah angka yang kalau diukur secara makro ekonomi tidak cukup untuk beli satu kursi DPRD. Tapi di sisi lain, publik bingung, kenapa sawmill ilegalnya tidak sekalian ditutup? Apakah hukum di negeri ini hanya tajam ke pemeras receh, tapi tumpul ke urusan industri kayu? Pertanyaan-pertanyaan ini lebih filosofis dari skripsi hukum pidana.

Mari jujur, pemerasan memang bukan barang asing di masyarakat. Ada pemerasan halus ala kepala daerah yang pura-pura nyindir perusahaan di podium tapi di belakang minta upeti. Ada pemerasan kasar ala ormas loreng yang datang ramai-ramai menagih “uang keamanan.” Semua berjalan damai, rukun, bahkan dianggap bagian dari sistem. EA hanyalah versi receh dari simfoni besar ini, gitar koplo di pojok kafe, sementara Noel bermain orkestra megah dengan miliaran.

Kesimpulannya, pemerasan bukan lagi sekadar tindak pidana. Ia adalah seni, filsafat kuasa, bahkan budaya populer. Tapi untuk kasus Pontianak ini, jangan buru-buru tepuk tangan. Karena pertanyaan tentang sawmill itu jauh lebih penting, legal atau ilegal? Kalau ilegal, pengusaha juga harus diusut. Kalau legal, maka EA benar-benar sekadar badut pemerasan. Jangan sampai kita hanya sibuk menertawakan badut, sementara gajah ilegal menari bebas di depan mata.

Camanewak Oleh:Rosadi Jamani

Ketua Satupena Kalbar.

Bagikan artikel ini

Tambahkan Komentar Anda
Disqus comments