![]() |
| Muhammad Fauzan |
Menurut Srimutia Elpalina dan tim peneliti budaya dari Tanah Datar, pakaian adat Bundo Kanduang terdiri dari enam unsur utama,tingkuluak,baju kuruang basiba, kodek, salempang, perhiasan, dan alas kaki. Keseluruhannya membentuk harmoni visual yang mencerminkan filosofi hidup masyarakat Minangkabau,indah dipandang, dalam bermakna.
Tingkuluak, penutup kepala berbentuk tanduk kerbau,menjadi simbol kebijaksanaan dan kepemimpinan. Bentuknya menyerupai atap rumah gadang, melambangkan tanggung jawab seorang perempuan sebagai penopang keluarga dan penjaga kehormatan suku. Di bawahnya, terdapat kain samiri lima warna, penanda kesucian dan kesiapan seorang pemimpin menjalankan amanah adat.
“Warna-warnanya bukan hiasan semata, tapi itu menggambarkan keseimbangan antara niat baik, kebijaksanaan dan keteguhan hati," ujar Bu Nun salah satu Bundo Kanduang setempat.
Sementara baju kuruang basiba,yang longgar dan tanpa kancing, merepresentasikan kelapangan dada. Jahitan “siba”-nya yang longgar diartikan sebagai kemampuan seorang Bundo Kanduang untuk menyatukan perbedaan di tengah keluarga besar.
“Seorang Bundo Kanduang tidak boleh sempit hati, ia harus menjadi tempat kembali bagi yang berselisih,"kata Bu Am, narasumber penelitian.
Bagian bawah, kodek atau rok songket panjang, mencerminkan kesopanan dan keteguhan. Belahan kecil di belakang memudahkan langkah,menggambarkan fleksibilitas dalam menghadapi perubahan tanpa meninggalkan adat. Sedangkan salempang yang melintang dari bahu kanan ke kiri melambangkan tanggung jawab, beban moral untuk menjaga keseimbangan keluarga dan kaum.
Rangkaian perhiasan menambah makna simbolik: 1. Kalung Pinyaram menyerupai kue tradisional, melambangkan kemakmuran dan kedermawanan. 2. Kalung Kudo-Kudo menjadi lambang kekuatan perempuan dalam menghadapi ujian.3. Galang Gadang, gelang besar berlapis emas, mengingatkan batas etika dan sopan santun dalam bertindak.
Yang menarik, tidak ada ketentuan khusus untuk alas kaki. Menurut Mak Katik, tokoh adat Batipuah Baruah, “Yang penting bukan sepatunya, tapi pijakannya. Bundo Kanduang harus tetap berpijak pada adat dan kebenaran.”
Pakaian adat ini tidak hanya indah dipandang, tetapi juga menyimpan falsafah yang dalam. Ia mengajarkan keseimbangan antara kekuatan dan kelembutan, antara tradisi dan pembaruan. Dalam setiap detailnya, pakaian Bundo Kanduang menegaskan bahwa kemuliaan perempuan Minangkabau tidak diukur dari hiasan tubuh, melainkan dari kebijaksanaan dalam menjaga marwah adat (oleh Muhammad Fawzan)
